Senin, 28 Desember 2009

Kapan seharusnya anak mempelajari alphabet dan angka

Banyak program di tempat penitipan anak atau prasekolah diklaim terpercaya, mengajarkan anak sedini mungkin untuk berhitung, menghafal alfabet, dan belajar berbagai macam konsep. Penekanan pada aktivitas pembelajaran tersebut adalah bagian dari tekanan masayarakat luas supaya anak-anak dapat belajar lebih banyak, lebih dini. Para penerbit buku membuat buku-buku belajar dan peranti lunak untuk membantu; perusahaan mainan menciptakan permainan untuk pembelajaran; pertunjukan televisi mengajarkan membaca alfabet dan angka-angka. Karena tekanan dari teman, tetangga, pakar pemerhati perkembangan anak, dan media, banyak orang tua merasa khawatir, jika anak mereka yang berusia 2, 3 atau 4 tahun belum dapat belajar bentuk, warna, huruf dan angka.

Bukan tak memungkinkan untuk mengajar anak mengingat dan mengulangi kembali serangkaian daftar singkat angka dari satu sampai sepuluh dan huruf-huruf. Tetapi, pemahaman akan konsep demikian biasanya tidak dapat dimulai hingga anak berusia 4 sampai 6 tahun. Seorang anak berusia 3 tahun mungkin mengetahui bahwa menyebutkan 1, 2, 3, 4 disebut berhitung, tetapi mungkin tidak memahami angka 6 mewakili 6 benda. Baginya belajar menghafal alfabet seperti belajar menghafal bahasa asing tanpa memahami maknanya.

Seorang anak tidak dapat diajar untuk memahami konsep angka dan huruf sebelum dia siap. Secara perlahan, setelah mencari tahu dengan benda, bertanya kepada orang tuanya dan orang lain, mengamati lingkungan sekitarnya, dan menjelajah, anak belajar apa arti angka dan huruf itu. Apabila keingintahuan alamiahnya didukung dan mempunyai benda-benda yang dapat membantu mencari tahu, dia akan belajar konsep angka dan huruf dengan mudah.

Tetapi, terlalu banyak penekanan pada pendidikan dini akan melemahkan dan menghilangkan dorongan alamiah anak untuk belajar. Orang tua seharusnya menunggu hingga anak menunjukkan minat yang spontan terhadap huruf, kata, dan konsep angka, kemudian menindaklanjuti dengan apa yang dapat dilakukan. Tidak selalu perlu sekolah karena orang tua dapat menyediakan sejumlah materi pembelajaran untuk anak-anak. Warna, bentuk, angka dan huruf adalah bagian dari apa yang dilakukan anak, sehingga mereka dapat belajar mengenai hal ini secara alamah. Setiap hari, seorang anak mendengar, "Kenakan celana pendek birumu", "Kamu ingin krayon. warna merah atau hijau?", "Ini adalah 3 keping biskuit", "Lihat truk yang besar itu." Anak terus belajar dari pemaparan konsep itu dalam keseharian mengenai kesamaan dan perbedaan (Susu berbeda dari jus, lbu berbeda dari Ayah), lembut dan keras, besar dan kecil. Anak dan mendengar orang dewasa menghitung, membaca, dan mengamati kata-kata dan angka di mana-mana. Anak belajar mengenal aksara ketika orang tuanya membacakan cerita kepadanya setiap hari, atau dengan sabar mengulangi cerita kesukaannya.

Secara bertahap, Anda akan mendengar anak bertanya, "Berapa banyak ini?", "Warna apa ini?", "Apa yang dikatakannya?" Anak mulai berhitung keras. Untuk pertama kali tentu tidak mampu menghitung dalam urutan yang benar, dan dia akan menulis kata-kata di atas kertas, sering pula menciptakan kata-kata tidak masuk akal atau menulis namanya secara terbalik. Cobalah untuk tidak membetulkannya terlebih dulu. Lebih baik mendukungnya untuk tetap berhitung dan menulis. Anak akan belajar dengan pemahamannya "tanpa tekanan" karena dia tertarik dan termotivasi sendiri. Kemudian, saat dia berada di taman kanak-kanak dan tingkat pertama, Anda akan melihat anak membuat langkah yang pesat dalam memahami bahasa dan maternatika.

Cuplikan dari Buku Pintar Orang Tua, Robin Goldstein, Ph.D., with Janet Gallant, Primamedia Pustaka, hal.175

(UU-BHP) dan Nasib Pendidikan indonesia

Saat ini saya baru mendapatkan pertanyaan seorang teman mengenai pendapat saya mengenai UU-BHP, terus terang saya bukan ahli hukum ataupun ahli pendidikan yang bisa dibilang pantas dan mampu untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan logika saya. Dari berita-berita di surat kabar ataupun situs dari Dikti serta Depdiknas saya membaca bahwa UU-BHP diadakan untuk meningkatkan kualitas Badan Pendidikan Indonesia untuk mampu memenuhi tuntutan Global yang menuntut kemandirian badan pendidikan Indonesia. Untuk itu saya akan memaparkan pendapat saya mengenai UU-BHP yang terbagi dari sudut pandang sbb:

Indonesia adalah negara sosial

Dalam pemahaman akan bentuk negara kita berdasarkan dasar negara dan UUD-45 sudah seharusnya bahwa pendidikan di Indonesia menjadi tugas negara yang memiliki nilai sangat strategis bagi pembangunan bangsa ke depan yang harus dilindungi dan didukung sepenuhnya oleh negara. Dalam pengertian dilindungi dan didukung sepenuhnya oleh negara adalah bentuk lama dari perguruan tinggi di Indonesia dimana di perguruan tinggi tetap bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat dan bukannya hanya bagi yang mempunyai uang ataupun dengan alasan subsidi silang sekalipun. Sebab dengan alasan tersebut secara tidak langsung apapun alasan untuk melepas perlindungan dan dukungan negara terhadap perguruan tinggi (dalam bentuk dana yang berdampak langsung terhadap rakyat Indonesia yang ingin menempuh ilmu di perguruan tinggi) sudah bertentangan dengan amanat dan tuntutan konstitusional. Dalam hal ini strategi terhadap pendidikan Indonesia harus sesuai dengan jiwa konstitusional (dasar negara dan UUD-45).

Tantangan global dan kemandirian badan pendidikan

Dalam pemahaman akan tantangan global serta kemandirian badan pendidikan dengan adanya perubahan dalam sistem pendanaan melalui UU-BHP justru melupakan salah satu faktor penting dalam pemahaman akan tantangan Global serta kemandirian tersebut. Dalam pemahaman akan tantangan global yang dimaksud adalah untuk meningkatkan jumlah rakyat Indonesia yang berpendidikan perguruan tinggi untuk bisa bersaing dalam dunia akademis dan dunia profesional secara global. Untuk itu justru negara justru berbeban untuk menambah quota kursi di perguruan tinggi serta mendukung rakyat untuk menempuh pendidikan tinggi, yang akan berakibat meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang berkualitas secara significant (bandingkan jumlah penduduk dan jumlah lulusan perguruan tinggi). Sedangkan dalam kemandirian badan pendidikan justru yang dibutuhkan adalah lepasnya campur tangan oknum negara dalam penentuan jabatan dan fungsi dalam dunia pendidikan tinggi, dan peningkatan kemandirian perguruan tinggi untuk menjalankan amanat pendidikan nasional dengan dukungan dan perlindungan dari negara yang bisa dipertanggung jawabkan akuntabilitasnya utk publik dan negara.

Jika yang dimaksudkan tentang tantangan global dan kemandirian adalah bentuk perguruan tinggi di luar negeri, maka yang saya pertanyakan adalah kebijaksanaan lokal negara yang melupakan faktor-faktor penting mengenai jumlah penduduk, jumlah lulusan perguruan tinggi yang sama sekali tidak sebanding dengan situasi di luar negeri. Belum lagi jumlah dana pendidikan mereka serta pengalaman dan akses serta fasilitas yang mereka miliki. Seringkali negara memang melakukan studi banding dengan bentuk badan pendidikan di luar negeri, tetapi mereka melupakan fakta-fakta sejarah yang penting mengapa badan-badan pendidikan di luar negeri bisa menjadi seperti itu, badan-badan pendidikan di luar negeri sudah mempunyai pengalaman ratusan tahun lebih tua dan merekapun sudah pernah di dukung sepenuhnya oleh negara masing-masing ratusan tahun lamanya sebelum akhirnya mereka bisa menjadi badan pendidikan yang mandiri secara dana dan organisasi pendidikan, sejalan dengan situasi negara masing-masing. Jadi jika yang dijadikan alasan adalah untuk bersaing dengan dunia pendidikan global maka alasan tersebut sama sekali tidak masuk akal.

Ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia

Adapun ancaman yang paling penting bagi bangsa Indonesia adalah ancaman terhadap dunia pendidikan Indonesia. Jika dilihat dari pemahaman adanya UU-BHP ini serta akibatnya secara tidak langsung bagi rakyat Indonesia, maka yang terjadi adalah menurunkan peranan negara dalam dunia pendidikan (bertentangan dengan amanat konstitusi), menurunkan akses masyarakat tidak mampu terhadap dunia perguruan tinggi, walaupun mereka mampu untuk belajar di perguruan tinggi (jika dahulu ada 100 kursi di perguruan tinggi untuk 100 mahasiswa yang berhak masuk sesuai dengan kemampuan, maka sekarang perguruan tinggi berubah menjadi badan usaha yang mencari pemasukan untuk menutup biaya operasional yang ada sehingga 100 kursi yang ada akan di berikan kepada yang mampu membayar), menurunkan akses masyarakat ke perguruan tinggi yang berakibat melemahnya manusia Indonesia di persaingan global sebab negara bisa bersaing karena memiliki manusia-manusia yang berpendidikan (belum lagi jika diperbandingkan antara jumlah akademis dengan jumlah rakyat kita, jika diluar negeri hampir 30 - 40% rakyatnya sudah bergelar S1 dan mayoritas lulus SMU), bahkan dengan adanya kebebasan bagi pendanaan perguruan tinggi yang terbuka melalui sistem ekonomi global maka justru kemandirian dunia pendidikan Indonesia hanya bergantung pemilik modal semata (bahkan pemilik modal luar negeri) sehingga yang terjadi adalah bentuk imperialisme baru melalui sistem kapitalisme yang dari dahulu sudah di tentang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers kita), belum lagi ancaman hilangnya ciri khas pendidikan Indonesia yang mempunyai muatan adat-istiadat, moral yang religius.

bahkan dalam gerakan perjuangan bangsa Indonesia para pilar-pilar negara serta founding fathers kita justru menekankan pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan negara kita yang harus dilindungi dan harus didukung oleh negara.

Demikianlah kiranya tulisan saya kali ini, mungkin tidak bisa menjawab tetapi saya berharap bisa dijadikan bahan pertimbangan. Dan dibawah ini saya sertakan cuplikan tulisan dari Jurnal Indonesia Merdeka mengenai pendidikan massa baik untuk angkatan muda maupun kaum dewasa:

"Rakyat kita diperlakukan dan dibiarkan dungu. terserah pada kita untuk merubah keadaan itu dan memperbaikinya. Sekolah-sekolah rakyat yang pertama-tama harus kita selengarakan; di tempat-tempat itu pemuda-pemuda Indonesia di bawah bimbingan orang ahli berkumpul hampir setiap hari....... Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda bahwa tujuan hidupnya adalah kemerdekaan Tanah Air. Dengan cara demikian kita memupuk warga negara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadiah yang tertinggi bagi Tanah Air kita."

nb: perguruan tinggi yang dimaksudkan di titik beratkan kepada perguruan tinggi negeri

Motivasi Memakai Bahasa Jawa Makin Tiada


Kemampuan para pelajar dalam berbahasa Jawa semakin memprihatinkan. Selama beberapa tahun terakhir, nilai rata-rata bahasa Inggris di sejumlah sekolah justru lebih tinggi dari nilai mereka dalam bahasa Jawa. Hal ini menjadi gambaran semakin meredupnya pelestarian budaya Jawa di Yogyakarta.

Gejala pudarnya kemampuan para pelajar dalam berbahasa Jawa ini bisa dikatakan terjadi di semua tingkat pendidikan dan sekolah, mulai dari SD, SMP, hingga SMA. "Lima tahun terakhir ini, nilai rata- rata untuk bahasa Jawa paling-paling hanya enam koma, sedangkan bahasa Inggris tujuh, bahkan delapan," kata Ponirin (57), guru Bahasa Jawa SD Negeri Jetisharjo, Kota Yogyakarta, Selasa (31/3).

Hal yang sama juga terjadi di SMP Negeri 8 Yogyakarta. Kemampuan anak-anak dalam berbahasa Jawa dan minat mereka terhadap budaya Jawa pun terlihat semakin turun. Dalam percakapan sehari-hari di sekolah, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.

Kepala SMP Negeri 8 Pardi Hardisusanto menduga, kondisi ini merupakan dampak dari berbagai faktor, termasuk lingkungan dan pendidikan dalam keluarga. "Saat ditanya siapa di rumah yang masih berkomunikasi dengan bahasa Jawa, sangat sedikit yang mengacungkan tangan," ujarnya mengutarakan keprihatinan.

Keadaan ini semakin jelas sejak berlakunya ujian nasional (UN). "Anak-anak memang lebih banyak menggenjot belajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Karena keduanya menjadi syarat kelulusan dalam UN," kata Kepala SMA Negeri 1 Kota Yogyakarta Bambang Supriyono. Bisa dibilang, para pelajar tak punya kepentingan untuk mempelajari bahasa Jawa. Akibatnya, motivasi dan ketertarikan mereka pun lenyap.

Lunturnya kemampuan para pelajar dalam berbahasa Jawa ini boleh jadi cerminan untuk masyarakat DI Yogyakarta pada umumnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan keprihatinan banyak pihak. Upaya untuk menghidupkan kembali bahasa Jawa di lingkup pendidikan pun disambut baik.

Di Kulon Progo, keseriusan melestarikan budaya Jawa sudah terlihat sejak satu tahun terakhir. Di awal tahun 2008, Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo mengimbau pegawai pemerintah tingkat kabupaten hingga desa, bahkan sekolah, untuk berbahasa Jawa setiap hari Jumat.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kulon Progo Sigit Wisnutomo mengatakan, sejauh ini penerapan imbauan itu berlangsung lancar, meski tetap butuh pengawasan dari para kepala satuan kerja perangkat daerah atau instansi di Kulon Progo. Tidak ada sanksi khusus bagi pegawai yang enggan berbahasa Jawa di hari Jumat, melainkan hanya akan ditegur dan diingatkan.

Tahun ini Pemerintah Kabupaten Kulon Progo juga akan memperluas aplikasi kebudayaan Jawa dalam berbagai bidang kegiatan. Salah satunya adalah penggunaan aksara Jawa di bawah tulisan papan nama kantor, jalan, pasar, puskesmas, sekolah, dan pusat pelayanan umum lain. Sigit mengatakan usulan itu baru akan disampaikan pada rapat koordinasi pembangunan, awal April.

Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta juga berencana mewajibkan "Hari Berbahasa Jawa" sekali sepekan. Rencana ini belum terlaksana karena adanya kekhawatiran sekolah belum siap melaksanakannya. "Ada kekhawatiran, mata pelajaran akan sulit diterima kalau disampaikan dalam bahasa Jawa. Untuk mengatasinya, bahasa Jawa hanya digunakan di luar jam pelajaran saja," tutur Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Syamsuri.

Jangan sekadar sosialisasi

Namun, sejumlah pihak sepakat, butuh usaha lebih besar daripada hanya sekadar sosialisasi. Perkara yang jauh lebih pokok dan mendasar adalah bagaimana menumbuhkan kembali motivasi belajar bahasa Jawa. Program ini juga harus didukung secara menyeluruh, tidak saja di lingkup pendidikan, tetapi juga di semua bidang.

Budayawan dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Bakdi Sumanto berpendapat, pelestarian penggunaan bahasa dan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari harus dimulai dengan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan. Program pelestarian ini pun harus berjangka panjang dan disiapkan secara serius.

"Kebudayaan selalu bersangkutan dengan kebiasaan masyarakat dan kebiasaan masyarakat identik dengan proses pembentukan yang tidak sebentar. Oleh karena itu, pemerintah harus berpikir jangka panjang, tidak hanya tercetus tiba-tiba kemudian hilang. Budaya akan hilang ketika tidak digunakan lagi," ujar Bakdi.

Hal ini bisa dilakukan dengan membuat bahasa Jawa penting untuk dipelajari, sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dengan kata lain, pemerintah harus "memaksa" adanya ketertarikan untuk mempelajarinya.

Kebutuhan untuk mempelajari bahasa Jawa menurut Ketua Dewan Kebudayaan DIY Yuwono Sri Suwito juga harus dipandang dari segi filosofis yang terkandung di dalamnya. Sistem pembelajaran bahasa Jawa pun harus diubah.

"Saat ini, konteks pelajaran bahasa Jawa tidak sesuai dengan perkembangan zaman sehingga tidak lagi menarik untuk dipelajari. Bahasa Jawa pun akhirnya hanya menjadi mata pelajaran komplementer, sekadar ada. Dalam beberapa kasus, pengantar pelajaran bahasa Jawa malah menggunakan bahasa Indonesia," tutur Yuwono.

Hal utama yang harus ditumbuhkan, menurut Yuwono, adalah rasa bangga ketika menggunakan bahasa Jawa. Kebanggaan yang disertai dengan kebutuhan niscaya dapat mendorong kelestarian budaya Jawa.

Membangun Indonesia Melalui Sadar Pendidikan

Ilmu pengetahuan merupakan pondasi utama memajukan sebuah bangsa dan Negara. Suatu bangsa dan Negara yang mengabaikan akan pentingnya sebuah pendidikan bagi generasi penerus, maka bangsa tersebut akan lemah dalam segala hal,
maka bangsa tersebut akan selalu hidup dalam kemunduran tanpa adanya kemajuan yang sangat berarti. Indonesia yang meupakan penduduk yang mayoritas muslim, bahkan dapat disinyalir bahwa Indonesia merupakan Negara terbesar di dunia yang kapasitas penduduknya beragama Islam. Sebagai pemeluk agama yang setia, kita dapat mempelajari betapa Islam begitu besarnya membrikan perhatian terhadap pendidikan. Hal ini dapat kita pelajari dari wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada baginda besar Muhammad SAW yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5 yang artinya " bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dri segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang ia tidak diketahuinya" .
Kekuatan yang dimiliki ummat dan kemenangan yang selalu dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau ibadah saja dan tanpa diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupannya. Namun, kekutan dan kemenangan itu tegak kokoh di atas tiga pilar yang satu sama lain tidak boleh terpisahkan yaitu, iman, ilmu dan amal (ibadah), dan saat ini, ketika ummat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut berangsur-angsur akan hilang dan pada akhirnya digantikan dengan ketidakberdayaan serta kelemahan. Sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya. ".Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (az-Zumar: 9) ".niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (al-Mujaadilah: 11), mengenai hal ini, Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya jati diri seorang pemuda-demi Allah-ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya."

Ilmu merupakan kekuatan, siapa yang paling unggul ilmunya dialah yang memimpin. Sekarang peradaban yang menguasai dunia adalah peradaban Barat. Ini logis, sebab Baratlah yang menguasai iptek dan science. Berkaitan dengan inilah tatkala Allah SWT memberikan isyarat tentang pengembangan ilmu pengetahuan di dalam Kitab Suci-Nya, Dia menyeru tidak secara khusus ditujukan kepada orang-orang beriman, namun seruan-Nya dilakukan secara umum kepada seluruh jamaah jin dan manusia, sehingga siapa yang lebih dahulu melakukan observasi, kajian dan pengembangan, maka dialah yang mendapatkannya (QS. Ar Rahman, 55:33).

Pada masa silam para ulama umat Islam selain memiliki penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama, mereka juga menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum yang berorientasi pada pengembangan sarana kehidupan.

Sebagai contoh Ibnu Sina misalkan, yang di Barat disebut dengan Avecienna, selain seorang ulama yang pakar dalam bidang kedokteran sesungguhnya dia juga menulis buku-buku tentang fiqih, tafsir dan akidah.

Al Qur'an sebagai Way of Life orang-orang Islam, padanya paling tidak ada 3 tipe ayat, yang apabila kaum Muslimin mensikapinya secara benar dan proporsional, bisa jadi akan menghantarkannya pada kejayaan, kemajuan dan supremasi. Ketiga tipe ayat itu adalah:

Pertama, ayat-ayat tentang keimanan dan keyakinan kepada yang ghaib, seperti iman kepada Allah, malaikat, takdir/qadha, hari Kiamat, pahala, dosa, surga, neraka dan sebagainya. Terhadap masalah yang seperti ini pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan menggunakan hati, yaitu iman.

Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan isyarat-isyaratnya. Terhadap masalah ini pendekatannya adalah dengan menggunakan akal, yaitu dipikirkan, diobervasi, dikaji, dan dikembangkan sehingga lahirlah science dan teknologi.

Ketiga, ayat-ayat tentang hukum dan undang-undang. Terhadap ayat-ayat yang seperti ini kewajiban umat Islam adalah melaksanakan dan menegakkannya.

Pendekatan yang benar dan proporsional akan melahirkan umat yang memiliki keimanan yang kokoh, cerdas dan berilmu pengetahuan dan percaya diri dan bangga dengan identitas dirinya. Inilah modal utama ke arah kejayaan dan supremasi Umat Islam.

Dalam kenyataannya umat ini justru mengalami kelemahan dalam hal itu semua. Walhasil umat sekarang dalam keadaan hina, mundur dan terkebelakang, sebagai konsekwensi jauhnya mereka dari tuntunan dan pedoman hidupnya: "Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Allah tidak lengah dari apa yang mereka perbuat." (QS. Al Baqarah:85)

Sebenarnya, negara-negara Islam belum sepenuhnya keluar dari cengkeraman para negara agresor dan penjajah, seperti Indonesia, Tunisia, Siria, Mesir, dan negeri-negeri yang lainnya. Mereka masih terjajah. Tidak kah mereka membawa empat slogan yang selalu didengung-dengungka n? Yaitu, God (Tuhan atau penyebaran agama), Gold (Emas), Gospel (kekayaan), dan Glory (kejayaan). Empat tujuan ini masih mereka nikmati, meskipun mereka telah hengkang dari negeri-negeri jajahannya. Maka meskipun secara fisik dunia Islam tidak terjajah, namun setiap dimensi kehidupan ummat masih dalam cengkeraman konspirasi mereka. Dan konspirasi mereka inilah yang dewasa ini dikerjakan oleh tangan-tangan LSM-LSM dan Yayasan-yayasan yang digerakkan oleh anak-anak muslim yang sudah dicuci otaknya dan yang didanai oleh mereka, para penjajah. Seperti Freemansory, Rotary Club, Lion Club, LSM sosialis komunis dan yang lainnya. Mereka bergerak sesuai keinginan donatur-donatur mereka yang semuanya ingin memberangus kebenaran Islam.

Setelah peperangan usai dan para penjajah hengkang dari bumi ummat Islam, namun negara-negara ketiga yang notabane negeri muslim semakin hari semakin terbelakang dan terpuruk dalam bidang iptek dan industri. Ini juga merupakan langkah-langkah strategis yang dilakukan pihak Barat dan musuh-musuh Islam yang tidak pernah ingin melihat ada satu negara muslim yang berkembang dan mengalami kemajuan. Mari kita renungkan beberapa komentar dan pernyataan para orientalis berikut ini;

Salah seorang pejabat pada Kementerian Luar Negeri Perancis pada tahun 1952 mengatakan: "Bahaya yang sebenarnya mengancam kita adalah Islam. Untuk itu marilah kita beri apa yang dibutuhkan oleh dunia Islam serta menanamkan pada diri mereka perasaan ketidakmampuan untuk menjadi negara industri. Apabila kita lemah dalam pelaksanan strategi tersebut, maka kemungkinan besar ummat Islam mencapai kemajuan dan menjadi salah satu kekuatan raksasa di dunia untuk ke dua kalinya."

Bekas dictator Portugal, Salazar berkata: "Saya khawatir akan muncul ditengah umat Islam seorang tokoh yang mampu menyatukan potensi mereka dan mengarahkannya kepada kita."

Mungkin kita bisa bertanya; dimanakah posisi negara-negara muslim dewasa ini? Di saat negara-negara modern telah berbicara tentang berbagai revolusi besar yang hendak dijalankan; revolusi teknologi, revolusi biologi (geneologi, cloning, penemuan peta gen manusia dan lain sebagainya), revolusi elektronik, revolusi ruang angkasa, revolusi komunikasi, informasi dan seterusnya. Di mana posisi kita di tengah negara maju ini?

Dalam bidang pemikiran, para penjajah melahirkan antek-antek mereka dari anak-anak negeri untuk mempengerahui ummat Islam tentang cara berfikir yang benar. Mereka mengajak kembali kepada paradigma yang dimiliki oleh para penjajah tersebut bukan kembali kepada Islam. Dengan dalih mereka telah menemukan kemajuan dan sementara dunia Islam dalam kegelapan ilmu pengetahuan. Jadi mereka menyerukan genarasi-generasi muslim untuk berkiblat kepada nilai-nilai yang diyakini para penjajah. Dan nilai-nilai ini bersandarkan kepada keyakinan, filsafat dan adat istiadat yang berkembang di tengah mereka. Sehingga tanpa disadari atau tidak, kita selaku ummat islam mulai menafikan akan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup.

Bahkan kita melihat banyak dari kalangan umat ini yang bangga dengan referensi Barat dalam bidang keilmuan yang seharusnya tidak layak untuk dijadikan sebagai referensi maupun rujukan utama. Seperti dalam bidang psikologi yang mengacu kepada pendapat Sigmun Freud, bidang sosiologi dan moral.

Seharusnya, umat ini ketika menjadikan Islam sebagai referensi utama, mereka harus kembali kepada Al-Quran, Al-hadits, Ijma', Perkataan Sahabat, Perkataan Tabi'in dan dalil-dalil yang dibenarkan dan diakui dalam terminology istinbat dan ijtihad.

Dari hasil kerja para penjajah sebelum mereka meninggalkan negara-negara jajahannya adalah keterbelahan jiwa ummat dalam memegang tali Allah SWT. Mereka menjadi minder ketika disebut muslim, mereka malu dan merasa terbelakang apabila ditanyakan tentang identitas dirinya sebagai muslim. Padahal seharusnya mereka berani menunjukkan dengan jelas apa identitas mereka dan siapa mereka? Hal ini dikarenakan seorang muslim memiliki identitas yang khas, kepribadian independen dan loyalitas yang jelas. Ia adalah pemilik risalah bumi dan pemikul panji dakwah universal yang berkarakter rabbaniah, insaniah dan akhlakiah.

Dampaknya dari itu semua, Rasulullah dan para sahabat tidak lagi dijadikan panutan dan suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih bangga dengan budaya yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh dunia Barat kepada negara-negara muslim, khususnya Indonesia

Untuk menghadapi berbagai problematika umat dewasa ini, baik yang bersifat permanen dan inheren maupun yang bersifat kontemporer karena faktor eksternal, maka seluruh Umat Islam harus membangun kembali kesadaran akan agamanya dan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam setiap dimensi kehidupannya.

Ada tiga fokus yang sangat mendasar, dimana setiap individu muslim harus memperbaiki dirinya dalam hal ini.

Pertama, Memiliki ilmu pengetahuan.

".Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (az-Zumar: 9)

".niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (al-Mujaadilah: 11)

Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya jati diri seorang pemuda-demi Allah-ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya."

Kedua, Belajar secara kontinyu.

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali 'Imran: 104)

Ketiga, Berjuang sepanjang masa.

"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (al-Hajj: 77-78)

Akhirnya, kita hanya bisa berdoa dan berharap semoga kita termasuk orang-orang yang memulai untuk berbenah diri dalam menghadapi berbagai problematika ummat sekarang ini.

Allah wa Rasuluh A'lam Bishshawab